KENAPA HARUS BERIBADAH ?



Kalau kita merenungkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai ibadah maka salah satu kesimpulan yang dapat kita tarik adalah bahwa ibadah yang diperintahkan oleh Allah adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ilallah). Selain itu semua ibadah yang kita lakukan merupakan riyadhah atau latihan untuk menanamkan nilai moral atau akhlak tertentu kepada pelakunya.

Setiap ibadah mahdah atau ritual khusus seperti salat, haji, puasa, zakat terkandung di dalamnya apa yang kita sebut sebagai pesan moral. Pesan moral itu sangat penting. Sehingga Rasulullah saw. menyatakan bahwa nilai suatu ibadah terletak pada kemampuan kita mewujudkan pesan moralnya. Jika ibadah tidak meningkatkan akhlak, rasulullah saw menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Dengan kata lain, ibadah kita tidak bernilai jika belum melaksanakan pesan moralnya. Begitu juga dengan ibadah puasa.

Bertahun-tahun atau bahkan berpuluh tahun Ramadhan sudah kita lalui. Selama itu pula kita menjalankan ritual puasa. Berbagai keadaan pernah kita lalui bersama Ramadhan sepanjang hidup. Mulai dari puasa masa kanak-kanak yang sekedar berlatih menahan diri untuk tidak makan dan minum sampai dengan puasa yang dilakukan dengan penuh penghayatan sehingga memberikan bekas dalam kehidupan seharian kita. Namun tidak sedikit pula di antara kita masih berpuasa seperti masa kanak-kanak. Berpuasa tidak lebih dari mehanan diri dari lapar dan dahaga dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

Seseorang bisa saja melakukan ibadah puasa. Dia sanggup mematuhi seluruh ketentuan fiqh, tetapi dia tidak sanggup mewujudkan pesan moral puasa itu. Dalam suatu hadits diriwayatkan bahwa pada bulan Ramadhan ada seorang wanita sedang mencaci-maki pembantunya, dan rasulullah mendengarnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil perempuan itu. Lalu Rasulullah saw bersabda, ”Makanlah makanan ini.” Perempuan itu menjawab, ”Saya sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasul bersabda lagi,” bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyak orang yang kelaparan.”

Ketika Rasulullah mengatakan bahwa, ”betapa sedikitnya orang yang puasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan,” Nabi menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral ibadah itu, tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja.

Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda, ”Telah mengabarkan kepada kami Abu Khalid al-Ahmar dari Usamah dari Sa’id dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah Saw, “berapa banyak orang yang berpuasa tidak ada baginya dari puasanya kecuali lapar dan berapa banyak orang yang bangun malam (untuk tahajjud) tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali mengembun. (Musnad Ahmad jilid 19, hal 351)

Bukti lain pentingnya pesan moral puasa itu antara lain ditunjukkan kalau puasa kita tidak sempurna, atau batal, atau melakukan hal-hal yang dilarang, secara fiqh, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu. Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami-istri bercampur pada siang hari, maka di antara kifaratnya ialah memberi makan enam puluh orang miskin atau membebaskan orang dari belenggu perbudakan, karena salah satu pesan moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar dan menderita di sekitar kita. Di dalam al-Qur’an kita temukan ayat yang menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak sanggup berpuasa, diharuskan membayar fidyah untuk orang-orang miskin. (lihat QS: al-Baqarah: 184) Sederhananya, kalaupun tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, paling tidak amalkan pesan moral puasa itu, yakni menyantuni fakir dan miskin. Dengan demikan jelaslah bahwa seluruh ajaran Islam diarahkan untuk menyempurnakan akhlak; termasuk ibadah puasa.

Pada kesempatan lain kepada Rasulullah diceritakan, ya Rasulullah ada orang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk melakukan qiyamul lail, tetapi dia menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Maka Rasulullah saw menjawab, ”Dia di neraka”.

Suatu ketika Nabi pernah bertanya kepada kepada sahabat-sahabatnya, ”tahukah kalian siapa yang bangkrut itu?”

Lalu para sahabat menjawab, ”bagi kami orang yang bangkrut itu ialah orang yang kehilangan harta dan seluruh miliknya.” tidak, kata Rasulullah. Yang bangkrut ialah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala puasanya, pahala zakatnya dan hajinya, tetapi ketika pahala-pahala itu ditimbang datanglah orang mengadu, ya Allah dahulu orang itu pernah menuduhku berbuat sesuatu padahal aku tidak pernah melakukannya. Kemudian Allah menyuruh orang yang diadukan itu untuk membayar orang itu dengan pahala dan menyerahkannya kepada orang yang mengadu tersebut.

Kemudian datang orang yang lain lagi, mengadu, ”ya Allah hakku pernah diambil dengan sewenang-wenang. Lalu Allah menyuruh lagi membayar dengan amal shalehnya kepada orang yang mengadu itu.”

Setelah itu datang lagi orang yang mengadu; sampai seluruh pahala salat, haji dan puasanya itu habis dipakai untuk membayar orang yang pernah haknya dirampas, yang pernah disakiti hatinya, yang pernah dituduh tanpa alasan yang jelas. Semuanya dia bayarkan sampai tidak tersisa lagi amal shalehnya. Tetapi orang yang mengadu masih datang juga. Maka Allah memutuskan agar kejahatan atau dosa orang yang mengadu dipindahkan kepada orang itu.”

Kata Rasulullah selanjutnya, itulah orang yang bangkrut di Hari Kiamat, yaitu orang yang rajin melakukan ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas hak orang lain dan menyakiti hati mereka.



Dalam konteks inilah agaknya di Indonesia dibudayakan halal bi halal. Sebab sebagaimana makna hadits di atas, ibadah vertikal yang menyangkut hubungan dengan Allah bukannya hanya tidak bisa menghapus dosa sesama manusia tetapi juga malah tertolak jika tidak membuat hubungan pelakunya dengan sesama manusia menjadi lebih baik.

Makna halal yang dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram menurut hemat penulis bukanlah substansi upacara halal bi halal. Karena ada sesuatu yang halal tetapi dibenci oleh Allah. “abghadul halal ila Allah, ath-thalaq” (sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah pemutusan hubungan suami isteri).

Menurut Quraish Shihab (2007:320) perintah al-Qur’an mengenai makan yang makanan yang halal antara lain dapat diartikan sebagai perintah untuk melakukan aktivitas yang halal sebab makan merupakan sumber utama untuk perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Selain halal al-Qur’an menambahkan bahwa aktivitas yang kita lakukan tidak sekedar aktivitas yang halal tetapi juga harus thayyib (baik).

Aktivitas yang kita lakukan seringkali bersinggungan dengan manusia yang lain. Besar dan kecilnya persinggungan aktivitas manusia terhadap manusia sangat tergantung pada kapasitas dan tanggung jawabnya. Seorang pejabat tentu persinggungannya jauh lebih besar dan luas dampaknya terhadap manusia lain. Sedangkan manusia bisa persinggungannya mungkin hanya terbatas pada hubungan individual. Dalam kenyataannya sesekali aktivitas itu mengganggu atau merugikan orang lain. Gangguan itu kadang-kadang disadari kadang-kadang juga tidak. Oleh karena itu, momen halal bi halal seperti sekarang ini adalah sarana bagi kita semua saling memaafkan sehingga dosa yang kita lakukan terhadap sesama manusia dapat terhapuskan. Firman Allah:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran: 133-134).

Menurut ayat di atas bahwa ciri orang taqwa adalah orang yang menyadari bahwa harta yang dimilikinya hanya pinjaman Allah yang setiap saat bisa ditarik-Nya kembali. Dengan kesadaran semacam itu ia akan dengan mudah menginfaqkan sebagian harta yang dimilikinya dalam keadaan senang maupun susah. Berikutnya adalah orang-orang yang dapat menahan marahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Begitu indah ajaran Islam ini. Kita diperintahkan untuk memberi maaf sebelum diminta karena itulah kebajikan. Mereka yang enggan memberi maaf sesungguhnya enggan memperoleh ampunan dari Allah. Tidak ada alasan untuk mengatakan “Tiada maaf bagimu”. Dalam kesempatan halal bi halal seperti ini mari kita lapangkan dada untuk mengikhlaskan segala kesalahan orang lain.

Bagi pihak yang melakukan kesalahan baik sebagai individu maupun sebagai orang yang memiliki kewenangan, jadikanlah momentum halal bi halal ini sebagai sarana berjanji untuk tidak mengulang segala kesalahan yang telah diperbuat. Bayangkan jika kita melakukan dosa yang tidak dimaafkan oleh orang banyak kita akan memikulnya di yaumul mahsyar nanti.

Selanjutnya ketika halal bi halal salah satu ucapan populer yakni Minal ‘Aidin wal Faizin.
Kata-kata tersebut adalah penggalan sebuah doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni: “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah kami dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan.”
Sehingga arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Semoga kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan”.
Dari segi bahasa, minal ‘aidin dapat diartikan dengan “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali di sini dimaksudkan kembali kepada fitrah manusia, yaitu “asal kejadiannya” atau “kesucian”. Bisa juga berarti “agama yang benar”.
Setelah berlalunya Ramadhan, bulan untuk mengasah jiwa dengan berpuasa, kita saling berharap bisa kembali ke asal kejadian kita, kembali ke dalam keadaan yang suci seperti saat kita dilahirkan dulu, serta bisa kembali mengamalkan ajaran agama yang benar.
Sedangkan kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan. Dalam konteks dan maknanya, ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, seluruhnya (kecuali dalam QS 4: 73), berarti “pengampunan dan keridhaan Allah SWT serta kebahagiaan surgawi”. Karena itu, Wal faizin hendaknya dipahami sebagai harapan dan doa, semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh keberuntungan berupa memperoleh ampunan dan ridha Allah swt sehingga kita semua mendapat kenikmatan surga-Nya.
Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Hasyr [59]: 20).
Barangsiapa yang dijauhkan –walaupun sedikit– dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung (QS Ali ‘Imran [3]: 185).
Jadi, minal ‘aidin wal faizin adalah doa untuk kita semua, agar kita dapat kembali menemukan jati diri kita dan agar kita bersama memperoleh keberuntungan berupa ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi.

Comments :

0 komentar to “KENAPA HARUS BERIBADAH ?”

Post a Comment